
Salah satu hasil karya kerajinan perak dari Desa Ungga, Lombok, Nusa Tenggara Barat. | KOMPAS/KHAERUL ANWAR
Kerajinan Lombok - Desa Ungga, Lombok, boleh terpencil. Tetapi, dari sini desain-desain kerajinan perak yang dipadukan cangkang kerang mutiara menyebar sampai ke Bandung, Surabaya, Bali, dan Jakarta. Kerajinan yang unik itu kini menjadi penyambung hidup warga setempat.
Tamrin, perajin sekaligus desainer di Desa Ungga, pada tujuh bulan terakhir mendapat pesanan beruntun sebanyak 15-20 buah sekali order. Upah membuat cincin Rp 100.000 per buah, dengan bahan dan desain yang disediakan pemesan. Di luar pesanan itu, perajin menjual desainnya sendiri kepada pembeli yang mencari cendera mata ke desa itu.
Desa Ungga luasnya 4,7 kilometer persegi, berpenduduk 7.980 jiwa. Sebagian besar warganya bekerja sebagai petani, buruh tani, dan buruh serabutan. Jaringan irigasi yang dibangun dalam dua dekade terakhir membuat areal sawah seluas 383 hektar teraliri air secara reguler. Kepemilikan sawah yang rata-rata 15 are cuma menghasilkan 6 kuintal padi. Itu hanya cukup untuk mempertahankan hidup.
Kehadiran kerajinan perak seperti membawa harapan baru. Ia menjadi sumber nafkah alternatif bagi penduduk. Apalagi desa itu letaknya strategis, di segitiga emas pengembangan Lombok Tengah: Bandara Internasional Lombok (BIL), berjarak 4 km dari Kilometer 10 jalan by pass BIL, kemudian obyek wisata Kute, dan Pelabuhan Teluk Awang sebagai kawasan industri perikanan terpadu. Cuma kondisi jalan aspal ke desa itu berlubang, bergelombang, sehingga jarak 4 km ditempuh 15-20 menit.
Perkembangan
Perkembangan terkini desa itu menarik minat generasi muda untuk menekuni kerajinan. Tamrin dan juga Farid (31), misalnya, rutin mendidik satu-dua murid, yang setelah setahun-dua tahun belajar, kemudian dilepas dan bisa mandiri. Tercatat 200 perajin perak di desa itu, meski yang aktif 35 orang, sisanya umumnya kembali menekuni buruh tani. Pekerjaan sebagai perajin umumnya menuntut kreativitas, yang justru jarang bisa dipenuhi para petani.
Bintang (40), misalnya, 17 tahun jadi buruh di sentra industri perak di Desa Celuk, Bali, dan pulang kampung bersama keluarganya tahun 2011. Penghasilan dari menjual nasi dan rokok yang terbatas di kampungnya membuatnya kembali menekuni kerajinan perak. Dia magang sejak sebulan di bengkel kerja Tamrin, mengasah keterampilannya lagi.
Bros, cincin, giwang, tusuk konde, suweng (sejenis giwang), liontin, gelang, dan bros-liontin adalah produk perajin desa yang berjarak 12 km selatan Praya, ibu kota Lombok Tengah, ini. Perhiasan-perhiasan itu berbahan cangkang kerang mutiara beragam warna yang dibentuk menjadi oval, bundar, lonjong, segi empat, segitiga, dan setengah bundar. Cangkang itu lalu dibalut ukiran perak-tembaga, yang menghasilkan produk berkelas.
Kehadiran para pemesan ke Ungga menjadi sumber informasi pasar, juga memperkaya dan merangsang daya kreatif perajin merancang desain yang disukai konsumen. Perajin, dengan kemampuan seni merangkainya, memadupadankan berbagai bentuk dan ukuran cangkang mutiara agar enak dipandang.
Ciri khas kerajinan perak Ungga pada jawan (butiran perak kecil) untuk variasi ornamen pelengkap produk berbentuk flora dan fauna yang sangat detail. Misalnya ukir terawang: ukiran urat daun diselingi lubang sangat kecil di antara urat daun itu sehingga tembus pandang. Jika perajin di beberapa desa lain angkat tangan, perajin Desa Ungga justru menjadikannya kreasi yang unik.
Tahapan
Ciri khas kerajinan perak Desa Ungga memiliki tahapan dalam pembuatannya. Pertama, peleburan bahan dasar perak (100 persen) dan tembaga (7,5 persen) yang berfungsi sebagai pengeras perak. Kedua, bahan yang dilebur itu dituang ke alat cetak. Ketiga, pemipihan (penempaan bahan dengan palu); keempat, pengepresan (guna mendapatkan tebal-tipis bahan yang digunakan), kemudian pembuatan pola. Lalu, pemasangan ornamen, yaitu kawat atau benang perak berbentuk bunga, daun, dan lainnya.
Benang perak itu direkatkan satu dengan lainnya menggunakan lem alami: isi buah tumbuh-tumbuhan lokal, disebut lengai (bahasa Sasak Lombok) atau piling (Bali). Berikutnya, tahap penyoderan dengan semprotan api, lalu pengasaman (merendam sejenak bahan kerajinan itu pada air asam dicampur air garam, atau air aki) guna menghilangkan warna hitam bekas pembakaran tadi.
Terakhir finishing: barang kerajinan disikat dan diberi warna hitam. Tiap produk diselesaikan satu-tiga hari. Semakin detail ornamennya, kian tinggi nilai jual barang di mata konsumen. Harga jual kerajinan ini bervariasi. Cincin yang dihiasi nucleus mutiara seharga Rp 150.000-Rp 200.000 per buah atau bros-liontin Rp 500.000-Rp 2 juta per buah. Keuntungan menjual produk digunakan, ”biaya makan-minum dan modal kerja dan memperbaiki rumah,” ujar Tamrin.
Kerajinan perak di Desa Ungga tumbuh bukan dari tradisi nenek moyang, melainkan dibangun atas inisiatif sebagian kecil warga untuk keluar dari kondisi kemiskinan. Diawali peristiwa yang menimpa Rabiah tahun 1982. Lelaki pedagang bakso ini tertabrak mobil saat berjualan keliling.
Rabiah menangis karena dia harus mengganti gerobak beserta isi milik majikannya. Untungnya pengemudi, yang belakangan diketahui sebagai pemilik art shop di Desa Celuk, Bali, mengganti kerugian, juga memboyong Rabiah belajar dan mendalami kerajinan perak.
Rabiah pun membawa warga Desa Ungga guna mengisi peluang kerja di sejumlah art shop Desa Celuk dan Singapadu, Gianyar, Bali. Tahun 2000, sekitar 300 warga Desa Ungga magang kerja di sentra-sentra industri kerajinan itu.
Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005 yang mengoyak sendi-sendi perekonomian Pulau Dewata membawa mereka pulang kampung. Lewat tangan-tangan terampil mereka, desa itu kini tepercik gemerlap kemilau kerajinan perak.
PETA LOKASI UNGGA LOMBOK TENGAH :
Sumber : Kompas